MAMUJU,MASALEMBO.ID-Di negara hukum, keadilan seharusnya menjadi panglima. Namun, dalam praktiknya, hukum sering kali berubah wajah menjadi alat kekuasaan. Fenomena ini kembali mencuat melalui istilah “genosida penegakan hukum” yang disuarakan Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan, dalam pleidoinya.
Istilah itu sontak mengundang pro dan kontra, tetapi juga membuka perdebatan mendasar: apakah hukum masih menjadi pelindung keadilan, atau justru menjadi senjata untuk membunuhnya?
Kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dalam kebijakan impor gula, telah menyeret Tom Lembong ke kursi terdakwa. Namun, banyak pihak menilai dakwaan ini cacat logika. Kebijakan yang diambil kolektif justru hanya menjerat satu orang, sementara bukti kerugian negara pun masih kabur.
“Ini bukan sekadar dakwaan, ini genosida atas kejujuran,” ujar Tom dalam pleidoinya.
Secara etimologis, genosida dalam hukum internasional merujuk pada penghancuran suatu kelompok bangsa, etnis, atau agama. Namun, dalam konteks metafora moral, “genosida penegakan hukum” menggambarkan penghancuran sistematis terhadap integritas pejabat publik, reputasi individu, dan kepercayaan publik terhadap hukum.
Ini bukan pembunuhan fisik, tetapi pembunuhan karakter dan legitimasi. Genosida penegakan hukum menjadi ancaman nyata bagi idealisme penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan sosial.
Fenomena ini bukan hanya soal Tom Lembong. Masih banyak kasus ‘genosida peradilan’, publik masih belum lupa dengan kasus brigadir Joshua, kemudian kasus Vina dan yang terbaru publik dikejutkan dengan kematian seorang diplomat muda Arya Daru Pangayunan, yang ditemukan meninggal di kamar kostnya dengan kepala yang terlakban.
Tragisnya, kematian ini terjadi di tengah lemahnya perlindungan negara terhadap aparaturnya sendiri.
Berbagai peristiwa pembunuhan, meski berbeda konteks, sama-sama memunculkan pertanyaan mendasar: apakah negara benar-benar hadir untuk melindungi warganya, atau justru menjadi bagian dari ancaman?
Kriminalisasi Kebijakan: Hukum yang Kehilangan Jiwa.
Kriminalisasi kebijakan bukan fenomena baru. Banyak pejabat publik ragu mengambil keputusan strategis karena khawatir dijerat pidana di kemudian hari. Akibatnya, birokrasi menjadi stagnan dan takut berinovasi.
Kasus Tom Lembong memperlihatkan bagaimana hukum bisa dipakai sebagai instrumen politik. Jika benar ada maladministrasi impor gula sejak 2015, mengapa hanya satu pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka? Mengapa tidak ada akuntabilitas kolektif? Mengapa dakwaan tetap dipaksakan meski bukti kerugian negara belum final, bahkan tidak ada Pertanyaan-pertanyaan ini menggantung, sementara proses hukum terus berjalan seolah kebenaran hanyalah formalitas.
Politisi dari berbagai partai menyebut kasus ini sebagai bentuk “balas dendam politik”.
Pakar hukum menilai dakwaan yang tidak proporsional hanya akan melemahkan rule of law dan menimbulkan trauma bagi pejabat negara yang ingin bekerja dengan integritas. Dalam situasi seperti ini, hukum tidak lagi netral; ia berubah menjadi alat represi yang membunuh keberanian berbuat benar. Negara yang abai melindungi aparaturnya.
Di sisi lain, kasus pembunuhan Brigadier J dan diplomat muda, Ary Danu yang sampai saat ini belum ditemukan penyebab kematiannya, semakin menambah luka moral. Berbagai spekulasi berkembang di tengah masyarakat, ironisnya aparat kepolisian belum juga menuntaskan hasil investigasinya.
Fenomena ini menunjukkan lemahnya mekanisme perlindungan terhadap aparatur negara. Tidak ada jaminan keselamatan, tidak ada akuntabilitas yang jelas. Tragisnya, kasus seperti ini sering ditutup dengan alasan birokratis atau “takdir”, tanpa evaluasi serius.
Jika pejabat negara dan diplomat, yang seharusnya berada dalam lingkar perlindungan tertinggi negara, masih bisa menjadi korban, bagaimana dengan warga biasa? Ini memperlihatkan paradoks besar: negara yang semestinya melindungi justru sering kali abai, bahkan membiarkan aparaturnya dikorbankan.
Mengapa Ini Berbahaya?
Ketika hukum dipakai sebagai alat untuk menyingkirkan lawan politik atau membungkam kritik, maka dampaknya jauh lebih luas:
- Menciptakan ketakutan kolektif. Pejabat publik takut mengambil kebijakan karena khawatir diseret ke pengadilan.
- Mematikan kepercayaan publik. Rakyat akan melihat hukum sebagai sandiwara, bukan pelindung keadilan.
- Melemahkan martabat negara. Jika diplomat saja tidak terlindungi, kredibilitas negara di mata dunia akan menurun.
Dengan kata lain, “genosida penegakan hukum” bukan hanya soal satu kasus, tetapi gejala kerusakan sistemik yang menggerogoti sendi-sendi demokrasi. Kasus Tom Lembong menunjukkan bagaimana hukum bisa dipelintir menjadi alat politik, sementara kematian diplomat muda menunjukkan lemahnya perlindungan negara terhadap orang-orang yang mengabdi untuknya.
Jika hukum terus dijadikan senjata kekuasaan, maka yang mati bukan hanya individu, tetapi juga kepercayaan rakyat, moralitas publik, dan masa depan demokrasi. Kita butuh keberanian untuk mengembalikan hukum pada fungsinya yang sejati: bukan membunuh, tetapi melindungi keadilan.
Penulis
Niar Kotta
(Direktur Gendev Riset Center)