KIBA Membawa Petaka, 950 Buruh Terancam Hilang Hak atas Pekerjaan

BANTAENG, MASALEMBO.ID – Siapa sangka, bulan April lalu adalah akhir kisah ugal-ugalan PT. Huadi Nickel Alloy yang memutus hubungan kerja kepada 73 orang buruh dalam Kawasan Industri Bantaeng (KIBA)? Kini, terdapat kurang lebih 950 buruh yang terancam dari hilangnya pekerjaan. 

Informasi ini terkuak melalui adanya pertemuan pihak perusahaan pada 25 Juni 2025, manajemen PT Huadi Nickel Alloy Indonesia mengadakan pertemuan dengan seluruh leader Tahap 1 dan Tahap 2 di ruang pertemuan Pos 1. Pertemuan ini membahas rencana perusahaan untuk merumahkan sejumlah karyawan. 

Pihak yang hadir dalam pertemuan tersebut merupakan perwakilan perusahaan mulai dari Manager HRD PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia oleh Andi Adrianti Latippa, Human Resources Tahap 1 (PT. Yatai 1 dan PT. Yatai 2) atas nama Sunardilla Human Resources Tahap 2 atas nama Rey (PT. Wuzhou) serta HR Tahap awal atas nama Kalla. 

“Tidak ada bukti kesejahteraan yang nyata. Warga sekitar KIBA mendapatkan polusi oleh Perusahaan. Kini, para Buruh yang merasakan dampak hilangnya pekerjaan. Artinya Warga dibunuh dua kali oleh perusahaan,” ujar Hasbi, Koordinator Ekosob LBH Makassar. 

Lebih lanjut, informasi yang ditemukan, kurang lebih 950 buruh ini terbagi masing-masing dari dua Perusahaan yang bercokol di KIBA di bawah naungan PT. Huadi Nickel Alloy. Perusahaan tersebut yakni, PT. Wuzhou yang telah merumahkan kurang lebih 350 Buruh terhitung sejak 1 July 2025 dan PT. Yatai akan merumahkan kurang lebih 600 orang Buruh. Fakta ini tentu melahirkan skema skala dampak dari hadirnya KIBA patut dipertanyakan. Janji manis ternyata berubah pahit.

Baca Juga  Huadi Group Akui Pelanggaran Jam Kerja dan Kekurangan Upah Lembur dalam Perundingan Bipartit dengan SBIPE

“Benar, sudah ada 350 Buruh yang di PHK oleh PT. Wuzhou. Mereka akan mem-PHK 600 Buruh di PT Yatai namun kabarnya mereka masih menunggu hingga material  ore nikel habis,” tegas Junaid Judda, perwakilan SBIPE Bantaeng

Angka 950 Buruh tentu akan membengkak dan akan menambah jumlah korban. Hitungan kasar–bisa dikalkulasi bertambah jika masing-masing buruh memiliki relasi hubungan keluarga serta tanggungan orang yang lain seperti anak, pasangan suami/istri dan orang tua. 

“Keputusan perusahaan untuk merumahkan buruh tanpa dasar hukum dan tanpa melibatkan partisipasi penuh buruh dan serikat pekerja adalah bentuk nyata pengingkaran terhadap prinsip-prinsip hubungan industrial yang adil dan sehat. Kami menyerukan kepada seluruh buruh di PT Huadi Nickel Alloy Indonesia untuk tidak tinggal diam. Ketika hak-hak pekerja dilanggar secara terang-terangan, maka perlawanan kolektif adalah keniscayaan.” terang Junaid Judda

Belum lagi Warga yang hidup di sekitar kawasan perusahaan yang terus berhadapan dengan polusi dan kerusakan lingkungan. Artinya dampak kerugian yang ditimbulkan tidak bisa dipandang secara parsial. Ada siklus yang saling bertaut dalam kehidupan masing-masing buruh yang hilang atas pekerjaannya. 

Apakah ada pilihan lain selain bertahan? Tentu saja tidak. Kenyataan ini juga terkuak pada saat Perundingan Bipartit yang menjelaskan kondisi buruh di KIBA itu sangat buruk. Tidak diupah secara layak, tidak ada jaminan sosial, kerja diluar dari waktu standar dan tidak diberikan upah lembur merupakan potret kekerasan harian yang dirasakan oleh para Buruh. 

Baca Juga  Pemkab Sumenep Pacu Penyusunan RPJMD 2025–2029, Fokus pada Keseimbangan Pembangunan Wilayah

Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SB-IPE) ikut menanggapi pertemuan yang berlangsung pada 25 Juni, yang menilai sangat jauh dari memihak kepentingan buruh. 

“Pertemuan tersebut tidak mencerminkan itikad baik serta mengabaikan prinsip-prinsip perlindungan buruh sebagaimana diatur dalam perundang-undangan ketenagakerjaan,” tegas Junaid Judda selaku perwakilan SBIPE.

Dalam siaran pers yang dilontarkan oleh SBIPE pada tanggal 25 Juni 2025, terdapat 6 catatan kritis terhadap pertemuan tersebut;

Hal yang pertama Pertemuan dilakukan Tidak Representatif. Pertemuan ini tidak dapat dianggap sebagai forum resmi yang mewakili suara buruh secara menyeluruh. Para leader Tahap 1 dan Tahap 2 bukanlah perwakilan sah dari seluruh karyawan, apalagi dari serikat buruh. Tidak ada mandat atau proses musyawarah dari buruh untuk menetapkan siapa yang mewakili dalam pengambilan keputusan penting seperti ini.

Hal yang kedua, Skema Pengupahan yang ditawarkan tidak memiliki dasar hukum. Skema pembayaran sebesar Rp1.000.000 per bulan bagi karyawan yang dirumahkan tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan bertentangan dengan ketentuan pemberian hak ganti rugi pekerja. Ini adalah bentuk pelanggaran terhadap hak normatif pekerja.

Hal yang ketiga, tidak ada kepastian jangka waktu buruh yang dirumahkan. Tidak adanya kejelasan mengenai jangka waktu status dirumahkan menunjukkan ketidakpastian yang sangat merugikan pekerja. Hal ini menciptakan ketidakstabilan ekonomi dan psikologis bagi buruh dan keluarga mereka.

Baca Juga  DPRD Majene Terima Tuntutan Mahasiswa, Siap Kawal Penempatan PPPK

Hal yang keempat, pertemuan tersebut minim partisipasi dan tidak transparan. Dalam pertemuan tersebut, para leader tidak diberikan ruang yang memadai untuk menyampaikan pendapat, pertimbangan hukum atau keberatan. Proses ini sama sekali tidak partisipatif dan cenderung sepihak.

Hal yang kelima, kesepakatan tidak sah secara perwakilan. Jika terdapat kesepakatan yang diambil dalam pertemuan tersebut, maka hal itu tidak dapat dijadikan dasar hukum atau kebijakan yang sah. Sebab, tidak melalui proses musyawarah dengan para pekerja ataupun serikat buruh sebagai entitas yang diakui secara hukum dalam hubungan industrial.

Hal yang keenam, Penggunaan Istilah “Break” atau “Off”  untuk menghindari kewajiban hukum. Penggunaan istilah “break” atau “off” oleh perusahaan menjadi indikasi kuat upaya perusahaan menghindari tanggung jawab hukum terkait status hubungan kerja dan hak-hak normatif buruh. Ini merupakan manipulasi bahasa untuk melemahkan posisi pekerja dalam struktur ketenagakerjaan.

Bahwa berdasarkan uraian diatas, SBIPE menegaskan bahwa setiap kebijakan yang berdampak pada status kerja buruh harus mengedepankan prinsip keadilan, keterbukaan, serta mematuhi hukum ketenagakerjaan yang berlaku. Kami menolak segala bentuk kebijakan sepihak yang merugikan pekerja dan tidak melibatkan proses dialog sosial yang sah dan demokratis.

“Perusahaan mencoba untuk abai dari tanggung jawab. Tidak ada istilah dirumahkan, “break” atau “off” dalam perselisihan hak. Ini hanya siasat mereka untuk lepas dari tanggung jawab ketika terjadi PHK di suatu perusahaan,” tutup Hasbi. (ril/har)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *