Opini  

Majene Kota Pendidikan: Antara Kebanggaan dan Tantangan Kebudayaan

Muhammad Irfan Ulman

SETIAP tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Di berbagai tempat, acara seremonial diadakan, slogan-slogan digemakan, dan media sosial penuh dengan ucapan dan refleksi. Di Majene, kota yang sudah lama dikenal sebagai Kota Pendidikan, momen ini kerap dijadikan bahan kebanggaan, dari keberadaan institusi pendidikan tinggi, sekolah-sekolah yang tersebar hingga pelosok, hingga reputasi sebagai pusat pembelajaran di Sulawesi Barat.

Namun, di balik kebanggaan itu, ada satu pertanyaan mendasar yang layak kita ajukan secara jujur, pendidikan seperti apa yang sedang kita banggakan. Karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan kita hari ini, meskipun maju secara fasilitas tetapi sedang berjalan menjauh dari akar budayanya. Ia sibuk mengejar kompetensi global, tapi seringkali abai terhadap identitas lokal. Ia mengejar literasi teknologi, tapi membiarkan bahasa ibu tergilas. Dan inilah yang kini tengah kita saksikan di Majene, bahasa dan budaya Mandar perlahan mati pelan-pelan.

Bahasa Ibu yang Terpinggirkan

Temuan Badan Bahasa (2023) menunjukkan data yang memprihatinkan, hanya 28% generasi muda di Majene yang masih aktif menggunakan bahasa Mandar. Di sisi lain, 72% keluarga di wilayah perkotaan lebih memilih memakai bahasa Indonesia di lingkungan rumah. Secara sosiologis, angka-angka ini bukan sekadar statistik linguistik, melainkan cerminan dari perubahan nilai dan identitas kolektif.

Baca Juga  IMM Majene Minta Evaluasi Serius Pendidikan di SPN Polda SulbarĀ 

Yang lebih ironis, dunia pendidikan dan institusi keagamaan yang strategis dalam pewarisan budaya, hari ini justru didominasi oleh bahasa Indonesia, dan dalam banyak kasus, oleh bahasa asing. Anak-anak diajari Bahasa asing sejak dini, sementara kemampuan mereka berbicara dalam bahasa Mandar makin terbatas. Bahasa ibu kehilangan tempatnya bukan karena kalah kualitas, tetapi karena kalah perhatian.

Kondisi ini menggambarkan bagaimana Bahasa sebagai bagian utama dari kebudayaan yang telah tersingkir dari pusat kehidupan sosial. Dalam teori Sosiologi, ketika bahasa ibu ditinggalkan, maka yang lenyap bukan hanya cara berbicara, tetapi juga cara berpikir, cara merasa, dan cara memaknai hidup. Dengan kata lain, kita sedang menghadapi apa yang disebut sebagai krisis identitas budaya.

Antara Kemajuan dan Kehilangan

Teknologi, inovasi pendidikan, serta keterbukaan global adalah bagian penting dari proses modernisasi. Tapi modernisasi tanpa akar budaya hanya akan menciptakan generasi yang tercerabut dari konteksnya sendiri. Mereka bisa jadi fasih berbahasa asing, cakap menggunakan perangkat digital, dan mampu bersaing dalam pasar kerja global, tapi tak lagi mampu menceritakan sejarah keluarganya, memahami nama-nama kampung dalam bahasa Mandar, atau membaca doa dalam bahasa nenek moyangnya.

Inilah paradoks yang kita hadapi di Majene, sebuah kota yang bangga dengan status Kota Pendidikan, tetapi sedang menyaksikan pelan-pelan kematian kulturalnya sendiri. Sekolah-sekolah dibangun, tetapi nilai-nilai lokal dilupakan. Gelar akademik bertambah, tetapi bahasa ibu menghilang dari perbincangan. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat pelestarian budaya justru menjadi instrumen yang mempercepat asimilasi tanpa kontrol.

Baca Juga  Kecam Pengrusakan Bendera, BADKO HMI Sulbar Somasi STIKES BBM

Kota Pendidikan Harus Mendidik dan Membudayakan

Pendidikan tidak boleh semata-mata dipahami sebagai proses penguasaan pengetahuan atau keterampilan teknis. Dalam pandangan Sosiologi, pendidikan adalah proses pembentukan manusia secara utuh meliputi nilai, norma, identitas, dan spiritualitas. Pendidikan yang mengabaikan dimensi kulturalnya hanya akan melahirkan manusia-manusia yang terampil tetapi kosong secara batiniah.

Jika Majene ingin benar-benar menjadi Kota Pendidikan, maka semangat itu harus dibangun bukan hanya pada infrastruktur dan angka partisipasi sekolah, tetapi juga pada bagaimana pendidikan menjadi ruang pewarisan budaya lokal. Bahasa Mandar, sejarah lokal, cerita rakyat, musik dan sastra tradisional harus mendapat tempat yang terhormat dalam sistem pendidikan kita.

Sudah saatnya sekolah-sekolah di Majene memiliki kurikulum muatan lokal yang kuat dan relevan. Bukan sekadar pelengkap administratif, tetapi benar-benar menjadi sarana penanaman nilai budaya. Guru-guru harus dilatih dan didukung untuk menjadi agen pelestarian, bukan sekadar pengajar silabus nasional. Dan lembaga-lembaga keagamaan harus kembali menjadi ruang hidup budaya, bukan hanya tempat ibadah yang steril dari lokalitas.

Baca Juga  Peringati Hardiknas, Gubernur SDK Tegaskan Larangan Penyegelan Sekolah dan Pungli

Saatnya Kita Bertanya Ulang

Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi momen untuk tidak hanya memuji diri sendiri, tapi juga melakukan introspeksi. Jangan sampai kita terus mengulang slogan Kota Pendidikan, tanpa memahami apa makna pendidikan yang sejati. Pendidikan yang benar bukan hanya mencerdaskan otak, tapi juga menumbuhkan rasa memiliki terhadap budaya dan identitas sendiri.

Maka, mari kita bertanya ulang, apakah kita sedang mendidik generasi yang bisa bersaing secara global tapi lupa cara menyapa dalam bahasa Mandar, apakah kita sedang menciptakan lulusan yang hebat di atas kertas, tapi canggung saat duduk di tikar bersama orang tua mereka sendiri, apakah kita ingin menjadi kota yang maju, tapi tak lagi tahu siapa diri kita, Kalau jawabannya membuat kita resah, maka resah itu adalah tanda bahwa kita masih peduli. Dan kepedulian itu harus diterjemahkan menjadi kebijakan, kurikulum, dan gerakan sosial yang nyata.

Majene bisa tetap menjadi Kota Pendidikan, tapi hanya jika pendidikan itu juga merawat budaya. Karena tanpa budaya, pendidikan hanyalah pabrik pengetahuan, sementara manusia sejati tumbuh bukan hanya dari tahu, tapi dari rasa dan akar. (*)

Penulis adalah pegiat budaya, dosen STAI DDI Majene.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *