SUMENEP, MASALEMBO.ID – Kasus yang menimpa Jailani, seorang pengusaha tambak udang di Kecamatan Dungkek, Sumenep, menyisakan tanya besar terkait lemahnya sistem kontrol dan transparansi prosedur internal PLN. Jailani dikenai denda hampir Rp34 juta atas dugaan pelanggaran listrik, namun yang menjadi sorotan bukan hanya nominal denda, melainkan kerumitan birokrasi dan celah prosedur yang memungkinkan rekayasa atau penyalahgunaan terjadi.
Pada awal Februari 2025, Jailani ingin mengganti salah satu meteran listrik tambaknya yang rusak. Untuk itu, ia menghubungi Ach. Hamdani alias Dani, seorang yang dikenal memiliki kemampuan teknis kelistrikan dan sebelumnya pernah bekerja di PLN. Jailani tidak mengetahui bahwa sejak Januari, Dani sudah bukan lagi pegawai PLN.
Langkah ini ternyata menjadi awal dari serangkaian masalah. Meskipun niat Jailani adalah memperbaiki sistem listrik agar tambaknya tetap beroperasi optimal, proses pergantian meteran justru memicu dugaan pelanggaran. Akibatnya, Jailani menerima surat denda dari PLN sebesar Rp33,8 juta, meski merasa tidak pernah melapor atau berurusan langsung dengan pihak resmi PLN dalam proses tersebut.
“Saya hanya ingin listriknya stabil. Tambak sangat tergantung arus,” kata Jailani, saat ditemui Senin, 21 April 2025.
Dani menjanjikan pemasangan meteran baru dalam waktu seminggu, namun realisasinya molor lebih dari satu bulan. Bahkan saat meteran terpasang, kualitas instalasi buruk. MCB kerap meledak, dan listrik tidak stabil. Jailani terpaksa mempercepat panen dua kali berturut-turut untuk menyelamatkan hasil budidaya yang rawan gagal karena gangguan daya.
Masalah memuncak ketika seorang pria berseragam PLN bernama Benny datang tanpa pemberitahuan. Ia mengambil gambar, mengganti kWh meteran Jailani, lalu menyodorkan surat pelanggaran. Jailani yang kaget, langsung menolak menggunakan meteran baru karena takut dituduh melanggar lagi.
“Saya kaget. Tidak ada pemberitahuan, tidak pernah kontak PLN,” tegasnya.
Namun, keanehan tak berhenti di situ. Berdasarkan dokumen yang diterima tim investigasi, laporan dugaan pelanggaran listrik atas nama pelanggan Iksan, yang mengaku membawa kuasa dari kakak Jailani, Bunahwi, baru diterima PLN pada 16 April 2025. Anehnya, Benny sudah berada di lokasi sejak 14 April — dua hari sebelum laporan resmi masuk.
Hal ini memunculkan pertanyaan serius: bagaimana petugas PLN bisa mengetahui lokasi dan mengambil tindakan sebelum laporan tercatat?, sumber internal PLN bahkan mempertanyakan mengapa dalam proses internal, nama Dani yang sudah bukan pegawai PLN masih disebut oleh petugas aktif seperti Benny.
“Kalau tidak ada kolusi, kenapa nama Dani bisa disebut dalam proses internal PLN?” ungkap seorang narasumber yang enggan disebutkan namanya.
Pihak PLN melalui Kepala ULP Sumenep, Pangky Yonkynata Ardiyansyah, menyatakan bahwa Dani sudah tidak memiliki wewenang dan tindakan yang ia lakukan tidak menjadi tanggung jawab PLN. Pangky juga menyebut siap memfasilitasi jika Jailani ingin membawa kasus ini ke jalur hukum.
Namun, pernyataan itu tidak serta merta menyelesaikan persoalan. Justru timbul keraguan terhadap validitas dan keamanan sistem PLN, terutama dalam proses pelaporan pelanggaran yang dinilai tidak transparan dan berpotensi disusupi kepentingan pihak-pihak tertentu.
“Kalau terbukti ada keterlibatan, kami akan ambil tindakan,” kata Pangky.
PLN juga mengakui bahwa meteran Jailani sebelumnya tidak tercatat dalam sistem resmi. Tapi belum ada penjelasan siapa yang memasukkan data tersebut, dan bagaimana bisa langsung diproses tanpa klarifikasi ke pelanggan.
Melihat kronologi ini, publik bukan hanya diajak menyoroti siapa yang bersalah, tapi juga bagaimana sistem pengawasan PLN perlu diperbaiki. Ketergantungan masyarakat terhadap listrik menuntut hadirnya kepastian hukum dan prosedur yang akuntabel, bukan malah menjerumuskan warga dalam ketidakpastian dan denda sepihak.
Jailani kini berada di titik genting, antara mempertahankan usahanya atau menunggu kejelasan dari proses hukum yang sedang ia tempuh.
“Saya hanya pelanggan. Saya bahkan tidak tahu istilah ‘ngelos’ itu apa,” ujarnya.
Daripada memusatkan tudingan pada individu semata, kasus ini seharusnya menjadi momentum refleksi bagi PLN untuk memperbaiki sistem internal mereka. Penegakan aturan tidak bisa hanya berdasarkan dugaan, apalagi jika proses awalnya sendiri menyimpan kejanggalan. (Red/TH)