Opini  

Menjaga Mata Rantai Pelayanan Jiwa Pasca Rujukan

Oleh: Nuning Kurniati, S.Kep.,Ns, (Petugas Kesehatan Jiwa Puskesmas Bambu Kabupaten Mamuju)

TULISAN Opini Fredy Akbar K di Media menjadi tamparan reflektif bagi kami, para petugas yang mengelola layanan kesehatan jiwa di tingkat Puskesmas. Kami menyadari, ada banyak celah dalam rantai koordinasi, terutama saat pasien jiwa dirujuk ke rumah sakit. Sering kali setelah pasien menjalani perawatan di RS, kami di Puskesmas tidak mendapatkan informasi lanjutan terkait perkembangan mereka. Tidak semua RS aktif mengonfirmasi kembali ke fasilitas awal mengenai kondisi pasien kecuali dalam kasus-kasus berat yang kadang ditanyakan oleh dokter spesialis jiwa.

Baca Juga  Merdeka secara Terdidik

Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Terlebih jika pasien tinggal jauh dari jangkauan Puskesmas, atau keluarganya tidak proaktif memberikan laporan. Padahal keberlangsungan pemantauan, pengobatan, dan edukasi sangat bergantung pada koordinasi berkelanjutan antar layanan serta keterlibatan keluarga.

Sementara itu, bagi pasien yang memang rutin kami tangani sejak awal kontrol tetap dilakukan. Bahkan ada keluarga yang tetap berkonsultasi meski tidak mengambil obat dari Puskesmas, dan inilah bentuk ideal dari kemitraan komunitas.

Baca Juga  Meneladani Kepemimpinan Rasulullah untuk Menata Ulang Etika Kenegaraan

Kami tidak menutup mata bahwa sebagai pengelola, kadang kami pun kurang peka atau terjebak pada rutinitas administratif. Tapi peristiwa seperti yang dituliskan dalam opini Fredy harus menjadi cambuk, bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga bagi kami sendiri sebagai tenaga kesehatan jiwa.

Intinya, yang perlu diperkuat adalah kolaborasi, koordinasi, dan advokasi. Karena urusan kesehatan jiwa memang memiliki tantangan tersendiri dibandingkan dengan alur layanan kesehatan umum. Di luar SOP dan aturan-aturan formal yang mengaturnya, yang dibutuhkan adalah kemauan, kompetensi, dan yang paling penting kepedulian.

Baca Juga  Kebiasaan Positif untuk Indonesia Emas

Kesehatan jiwa bukan hanya soal pengobatan, tetapi tentang keberlangsungan relasi dan dukungan lintas sektor. Maka, semoga tulisan ini menjadi ajakan terbuka untuk membenahi, bukan menyalahkan; membangun, bukan memojokkan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *