Oleh: Dr. Aliem Bahri, S.Pd., M.Pd
FESTIVAL Budaya Ada’ Tuho yang digelar di Taukong, Tandeallo, Kecamatan Ulumanda, berlangsung meriah dan penuh semangat. Warga dari berbagai penjuru Ulumanda hadir dan turut serta menampilkan beragam kesenian, adat istiadat, dan tradisi lokal yang menggambarkan kekayaan budaya yang masih lestari. Ini adalah bukti nyata bahwa meskipun terpinggirkan secara pembangunan, semangat masyarakat Ulumanda untuk menjaga jati diri budayanya tetap menyala.
Namun, di balik gegap gempita festival tersebut, ada kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan: ketidakhadiran Bupati dan Wakil Bupati Majene, serta tidak tampaknya keterlibatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dalam acara ini. Bagi sebagian mungkin ini dianggap hal kecil, namun bagi masyarakat Ulumanda, ketidakhadiran itu adalah simbol: bahwa perhatian terhadap wilayah ini memang masih sangat minim.
Ulumanda bukan hanya jauh secara geografis, tetapi juga terasa jauh dari sentuhan pembangunan. Jalanan rusak parah, akses infrastruktur yang terbatas, hingga layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang belum merata, adalah realita sehari-hari yang dihadapi masyarakat. Dibandingkan wilayah lain di Kabupaten Majene, Ulumanda memang masih jauh tertinggal.
Momentum Festival Ada’ Tuho seharusnya menjadi kesempatan strategis untuk menunjukkan eksistensi Ulumanda sebagai bagian penting dari Kabupaten Majene. Kehadiran para pejabat, jika ada, seharusnya dapat menjadi isyarat bahwa Ulumanda juga dilihat, dihargai, dan diperhitungkan dalam kebijakan pembangunan. Namun, ketika perhatian itu tidak kunjung hadir, kita dipaksa untuk kembali pada pertanyaan mendasar: Jika bukan kita sendiri yang memikirkan daerah ini, lalu siapa lagi?
Kini saatnya masyarakat Ulumanda menyadari bahwa ketergantungan pada perhatian pemerintah daerah saja belum cukup. Sudah waktunya membangun jalur komunikasi yang lebih langsung dengan pemerintah pusat, khususnya kementerian-kementerian teknis yang dapat menjangkau daerah-daerah dengan kondisi seperti Ulumanda. Utamanya, kita harus memperjuangkan pembangunan infrastruktur jalan yang selama ini menjadi penghambat utama pergerakan ekonomi, akses pendidikan, dan pelayanan kesehatan.
Festival ini memang meriah. Tapi kemeriahan itu sekaligus menyisakan refleksi pahit: bahwa budaya kita bisa bertahan, namun tanpa pembangunan, masa depan tetap suram. Mari jadikan ini sebagai panggilan untuk bangkit. Ulumanda tidak boleh selamanya dibiarkan tertinggal. (*)
Penulis adalah dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Makassar