SUMENEP, MASALEMBO.ID – Dalam suasana laut yang tenang namun penuh tantangan, Darul Hasyim Fath, anggota DPRD Kabupaten Sumenep dari Fraksi PDI Perjuangan, menunaikan tugas reses masa sidang II tahun 2024/2025 dengan cara yang berbeda. Ia memilih menempuh perjalanan laut, menyusuri tiga pulau di gugusan Kepulauan Masalembu yakni Masalembu, Masakambing, dan Karamian untuk bertemu langsung dengan masyarakat yang selama ini tinggal jauh dari pusat pemerintahan.
Dengan mengusung semangat “Kawan Joeang Anak Pulau”, Darul tidak sekadar hadir sebagai pejabat publik, melainkan sebagai bagian dari masyarakat kepulauan itu sendiri. Dalam rentang waktu 7 hingga 14 April 2025, ia menjejakkan kaki di tiap-tiap pulau, bertatap muka dengan warga, menyerap aspirasi, dan mencatat berbagai persoalan yang selama ini dirasakan oleh masyarakat.
Reses ini dimaknainya sebagai momentum kembali ke akar perjuangan politiknya, yakni keberpihakan pada kelompok-kelompok yang berada di pinggiran. Menurutnya, seorang legislator tidak boleh hanya duduk di kursi parlemen, melainkan harus hadir bersama rakyat, terlebih mereka yang tinggal di wilayah terluar seperti kepulauan.
“Saya bukan datang membawa janji, tapi membawa telinga dan hati. Anak Pulau seperti saya, tak boleh lupa dari mana pijakan pertama dimulai. Reses ini adalah cara saya kembali mengakar, kembali mendengar, agar suara samudera tak lagi tenggelam,” ujar Darul dengan suara tenangnya. Rabu 16/03/2025.
Dalam setiap pertemuan, Darul banyak menerima keluhan terkait rendahnya kualitas pelayanan pendidikan, sulitnya akses layanan kesehatan, serta terbatasnya infrastruktur dasar. Semua itu menjadi sorotan utama yang perlu diperjuangkan dalam forum-forum kebijakan publik di tingkat kabupaten.
Ia menegaskan bahwa ketimpangan pembangunan antara daratan dan kepulauan adalah masalah lama yang tidak boleh terus dibiarkan. Keadilan pembangunan, menurutnya, merupakan mandat sejarah yang menuntut realisasi nyata.
“Kecamatan Masalembu yang terdiri dari tiga pulau dan 4 desa ini seyogyanya tidak boleh menjadi anak tiri Kabupaten, tidak boleh ada pembeda antara daratan dan kepulauan,” ungkapnya.
Meski begitu, Darul tidak menutup mata terhadap kompleksitas dunia birokrasi dan politik yang sering kali menjadi hambatan dalam realisasi aspirasi warga. Ia mengajak masyarakat untuk memahami bahwa setiap keputusan memerlukan proses, negosiasi, dan dukungan politik yang kuat agar bisa diwujudkan.
“Ada tahap-tahap yang mesti dilalui. Tidak serta merta, semua aspirasi bisa dengan mudah disetujui dan dilaksanakan,” tuturnya.
Namun, ia menegaskan bahwa proses panjang tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk berhenti berjuang. Sebaliknya, itu harus menjadi energi untuk terus menyuarakan kebutuhan masyarakat kepulauan, yang selama ini cenderung terabaikan dalam perencanaan pembangunan.
“Jika suara dari pulau kecil terus dilupakan, maka luka pembangunan akan terus menganga. Kita tak sedang bicara soal fasilitas semata, tapi juga tentang martabat. Saya datang sebagai kawan, sebagai bagian dari orang pulau,” pungkasnya.
Dengan gaya komunikasi yang membumi dan sikap rendah hati, Darul Hasyim Fath memperlihatkan bahwa reses bukan sekadar ritual tahunan, tapi merupakan momen untuk menghidupkan kembali semangat perwakilan yang sejati. Ia hadir bukan sebagai simbol kekuasaan, tetapi sebagai cerminan dari suara rakyat yang tak boleh dilupakan—terutama mereka yang hidup di ujung samudera. (Red/TH)