Opini  

Adaq Tuho dan Adaq Mate: Falsafah Hukum yang Menjaga Harmoni dan Martabat

Harmegi Amin (Pemuda Ulumanda, sedang merantau di Yogyakarta)

DI TENGAH keragaman adat dan budaya Nusantara, masyarakat adat Mandar di Sulawesi Barat memiliki falsafah hukum yang unik dan sarat nilai kehidupan. Falsafah tersebut dikenal dengan sebutan Adaq Tuo (Tuho) dan Adaq Mate, yang masing-masing mencerminkan dua sisi penting dalam tata hukum: pengampunan dan keadilan tegas. Kedua konsep ini lahir dari kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun, sekaligus menjadi cerminan bagaimana masyarakat adat mengatur tatanan sosialnya dengan bijak. Di dalam lontaraq (pepesan orang-orang terdahulu) disebutkan Adaq Tuho di Ulu Salu dan Adaq Mate di Baqbabinanga.

Adaq Tuho: Hukum Hidup yang Menjunjung Pengampunan

Adaq Tuho atau hukum hidup adalah aturan yang lahir dari ikatan kekeluargaan dan rasa kebersamaan dalam komunitas. Dalam masyarakat Ulumanda di Kabupaten Majene, hukum ini berlaku hanya di lingkup adat mereka yang terdiri dari orang-orang sedarah dan tinggal di dataran tinggi Majene bagian Utara-Timur. Filosofinya tertuang dalam ungkapan: “Nibatta di bitti tau tappa di bitti tedong, nibatta di bitti tedong tappa di pa’barang barangan” yang berarti, seseorang yang berbuat kesalahan dapat dijatuhi hukuman berupa denda membayar seekor kerbau atau penyitaan harta bendanya hingga jatuh miskin.

Baca Juga  Jalan Rusak, Negara Absen: Lima Desa yang Diasingkan oleh Pembangunan

Bagi pelanggaran yang lebih berat, sanksi sosial dijatuhkan dalam bentuk pengasingan dari komunitas, yang dikenal dengan istilah “dondo di adaq tataq di kasarrapuang.” Hukuman ini memutus status sosial seseorang dari komunitas adatnya. Meski demikian, hukum Adaq Tuho di Ulumanda secara tegas menolak praktik hukuman mati. Prinsipnya jelas: kesalahan manusia harus dihadapi dengan pengampunan, bukan menghilangkan nyawa. Dengan demikian, Adaq Tuho menjadi manifestasi hukum yang memelihara kehidupan dan memperkuat rasa persaudaraan.

Baca Juga  SDK Tunjuk Herdin Ismail Sebagai Plh Sekprov Sulbar

Adaq Mate: Hukum Dialektis Penegak Martabat

Berbeda dengan Adaq Tuho Adaq Mate lahir dari dorongan untuk menegakkan harkat dan martabat manusia melalui keadilan yang tegas. Dalam falsafah ini, seseorang yang menghancurkan kehidupan orang lain pantas menerima ganjaran setimpal demi menjaga keteraturan sosial. Adaq Mate bersifat dialektis—ia tidak sekadar menghukum, tetapi menjadi mekanisme untuk menegakkan keseimbangan dalam masyarakat.

Meski sama dengan Adaq Tuho yang bersifat komunitas, Adaq Mate menunjukkan bahwa masyarakat adat tidak hanya mengandalkan pengampunan, tetapi juga memahami pentingnya ketegasan demi keadilan. Di sinilah keseimbangan falsafah hukum terwujud menggabungkan nilai-nilai kemanusiaan dengan aturan yang menjamin keteraturan.

Kedua falsafah ini, Adaq Tuho dan Adaq Mate, menjadi fondasi berpikir yang menginspirasi lahirnya hukum positif modern. Dalam sistem hukum Indonesia, nilai-nilai keduanya terlihat jelas: ada hukuman denda, kurungan penjara sebagai bentuk pengampunan dan rehabilitasi, tetapi ada pula hukuman mati sebagai bentuk keadilan tegas bagi pelanggaran berat. Semua ini kemudian dikodifikasi dalam undang-undang dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Baca Juga  Wagub Sulbar Minta OJK Perkuat Pengawasan KUR untuk Dongkrak Ekonomi Daerah

Falsafah hukum di Mandar Sulawesi Barat ini membuktikan bahwa kearifan lokal memiliki peran penting dalam membangun tatanan hukum nasional. Adaq Tuho mengajarkan makna pengampunan demi harmoni sosial, sementara Adaq Mate menegaskan pentingnya ketegasan demi menjaga martabat manusia. Kedua nilai ini berpadu, menciptakan harmoni antara kemanusiaan dan keteraturan hukum—sebuah pelajaran berharga yang relevan hingga kini, di tengah tantangan kehidupan modern. (*)

Selamat dan sukses Festival Adaq Tuho di Lembang Maitting Taukong desa Tandeallo, Kecamatan Ulumanda, Majene, 29-31 Juli 2025.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *