Opini  

Meneladani Kepemimpinan Rasulullah untuk Menata Ulang Etika Kenegaraan

Penulis: Muhammad Risal

(Dosen STAI DDI Majene)

SETIAP kali kita memperingati hari kelahiran RasulullahMuhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, umat Islam di seluruh dunia seolah diajak untuk kembali menengok bukanhanya sisi spiritual beliau, tetapi juga keagungan akhlak sertaketeladanan kepemimpinan yang telah terbukti mampumembangun peradaban. Rasulullah bukan hanya seorang Nabidan Rasul, melainkan juga pemimpin umat, kepala negara, panglima perang, penegak hukum, sekaligus teladan dalam etikapublik. Dalam konteks Indonesia hari ini, di mana dinamikapolitik dan sosial sering diwarnai ketidakpuasan rakyat, aksidemonstrasi, hingga perilaku sebagian oknum pejabat yang jauhdari rasa empati terhadap rakyat kecil, keteladanan Rasulullahmenjadi sangat relevan untuk direnungkan.

Kepemimpinan yang Berakar pada Amanah

Rasulullah dikenal sebagai al-Amin, sosok terpercaya yang tidakpernah berkhianat pada janji maupun titipan. Gelar ini diberikanmasyarakat jauh sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Hal inimenunjukkan bahwa legitimasi kepemimpinan tidak hanya lahirdari jabatan formal, tetapi dari akhlak, ketulusan, sertakonsistensi menepati amanah dan janji.

Di Indonesia, krisis terbesar yang kita hadapi bukan sekadarkrisis ekonomi atau politik, melainkan krisis kepercayaan. Banyak rakyat kecil merasa bahwa kebijakan pemerintah seringkali lebih berpihak pada kepentingan elit, bukan pada kebutuhanmasyarakat bawah. Saat itulah kita merindukan kepemimpinanala Rasulullah yang mengutamakan amanah. Pemimpin dalamkacamata Islam bukanlah penguasa yang berhak memerasrakyat, melainkan pelayan yang bertanggung jawab di hadapanAllah dan manusia.

Bayangkan bila pejabat publik di negeri ini meneladani sifatRasulullah yang penuh kejujuran dan kesetiaan pada amanah.Setiap kebijakan akan lahir dari niat untuk menghadirkankemaslahatan, bukan keuntungan pribadi atau kelompok. Krisiskepercayaan bisa dipulihkan, dan relasi negara dengan rakyatakan lebih sehat.

Kepemimpinan yang Mengutamakan Musyawarah

Dalam membangun masyarakat Madinah, Rasulullah tidakbertindak otoriter. Beliau kerap mengajak para sahabatbermusyawarah, bahkan dalam perkara perang yang sangatgenting sekalipun. Prinsip syura inilah yang membuat setiapkebijakan memiliki legitimasi moral yang kuat, sebab lahir dariproses kolektif, bukan dari kehendak satu orang.

Baca Juga  Menjaga Mata Rantai Pelayanan Jiwa Pasca Rujukan

Kondisi Indonesia hari ini menuntut praktik musyawarah yang sejati. Aksi-aksi protes yang muncul di berbagai daerahsejatinya merupakan ekspresi kekecewaan atas kebijakan yang dianggap lahir tanpa mendengarkan suara rakyat. Ketikakomunikasi politik terputus, rakyat memilih jalan turun ke jalan.Di sinilah teladan Rasulullah menjadi penting.

Seorang pemimpin yang meneladani Rasulullah akan membukaruang partisipasi rakyat, mendengarkan aspirasi mereka denganhati yang tulus, dan tidak merasa paling benar. Dalam kerangkakenegaraan modern, ini bisa diwujudkan dengan memperkuatmekanisme dialog publik, memperhatikan suara masyarakatsipil, serta memastikan kebijakan selalu diuji oleh kepentinganrakyat banyak.

Kepemimpinan yang Adil dan Berkeadaban

Salah satu pilar kepemimpinan Rasulullah adalah keadilan.Beliau tidak membeda-bedakan perlakuan hukum, bahkanterhadap orang dekat. Kisah terkenal adalah ketika seorangwanita dari kalangan bangsawan Quraisy mencuri, lalu adasahabat yang hendak melobi agar hukuman tidak dijatuhkan.Rasulullah menolak dengan tegas dan berkata, “SeandainyaFatimah, putri Muhammad, mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”

Pesan moral ini sangat dalam dan tajam: hukum tidak bolehtajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Di Indonesia, kita seringmenyaksikan praktik sebaliknya. Rakyat kecil yang melanggaraturan sepele dihukum dengan keras, sementara pejabat atauorang berkuasa yang melanggar aturan bisa melenggang denganmudah, bahkan terkadang mendapat fasilitas yang tidak pantas.

Meneladani Rasulullah berarti menegakkan hukum dengan adiltanpa pandang bulu. Etika kenegaraan akan runtuh jika hukumhanya dijadikan alat kepentingan. Sebaliknya, hukum yang ditegakkan dengan adil akan menjadi fondasi kokoh bagikepercayaan rakyat terhadap negara.

Baca Juga  APBD SERTA PUBLIC VALUE

Kepemimpinan yang Merangkul Semua Golongan

Piagam Madinah yang disusun Rasulullah adalah salah satudokumen politik paling penting dalam sejarah umat manusia.Dokumen itu mengatur tata kehidupan masyarakat yang sangatmajemuk: Muslim, Yahudi, Nasrani, dan kabilah-kabilah Arab dengan berbagai latar belakang. Rasulullah tidak membangunnegara hanya untuk umat Islam, melainkan untuk semua wargadengan prinsip keadilan dan persaudaraan.

Kondisi Indonesia yang plural dan majemuk sangat miripdengan Madinah. Kita terdiri dari berbagai suku, agama, danbudaya. Tantangan terbesar kita adalah menjaga harmoni dalamperbedaan. Meneladani Rasulullah berarti memimpin dengansemangat inklusif, merangkul semua golongan, dan memastikantidak ada yang terpinggirkan. Etika kenegaraan akan lebihkokoh bila pemerintah mampu menjadi payung bagi seluruhrakyat, bukan hanya bagi pendukung politiknya.

Kepemimpinan yang Berempati pada Rakyat Kecil

Rasulullah adalah sosok yang sangat dekat dengan rakyat kecil.Beliau tidak pernah segan menyapa anak-anak, duduk bersamaorang miskin, atau menanyakan kabar mereka yang sakit.Kehidupan beliau sendiri sangat sederhana, jauh darikemewahan. Padahal sebagai kepala negara, beliau bisa sajahidup bergelimang fasilitas.

Kondisi Indonesia hari ini memperlihatkan jurang kesenjanganyang semakin lebar. Ketika rakyat kecil berjuang kerasmenghadapi harga kebutuhan pokok yang semakin tinggi, sebagian pejabat justru tampil dengan gaya hidup mewah yang dipamerkan di ruang publik yang efeknya bisa melukai hatirakyat kecil.

Seorang pemimpin yang meneladani Rasulullah akan memilihhidup sederhana, menahan diri dari kemewahan yang berlebihan, dan selalu hadir di tengah rakyat. Kehadiran yang tulus, bukan sekadar simbolis, akan membuat rakyat merasadiperhatikan. Dalam konteks ini, etika kenegaraan menuntutpejabat publik untuk memiliki empati yang nyata, bukan hanyajanji manis di masa kampanye.

Baca Juga  Student On Sandeq (SOS): Revitalisasi Pendidikan Karakter dari Laut Mandar

Relevansi bagi Indonesia

Bangsa Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi yang relatif kondusif, tetapi ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakanpemerintah terus bermunculan. Demonstrasi yang kadangberujung pada anarkisme adalah gejala bahwa ada jurangkomunikasi antara pemerintah dan rakyat. Di sisi lain, perilakusebagian pejabat yang seolah tidak peduli pada penderitaanrakyat semakin memperdalam luka sosial.

Momentum Maulid Nabi Muhammad SAW mengingatkan kitabahwa solusi sejati atas persoalan bangsa tidak hanya bisadicapai melalui perbaikan sistem politik atau ekonomi, melainkan juga melalui penataan ulang etika kenegaraan. Etikainilah yang menjadi fondasi moral bagi setiap penyelenggaranegara.

Teladan Rasulullah memberi kita arah yang jelas: kepemimpinanyang amanah, adil, inklusif, berempati, dan mengedepankanmusyawarah. Bila nilai-nilai ini benar-benar dihidupkan, bangsaIndonesia tidak hanya akan lebih stabil secara politik, tetapi jugalebih beradab, berkeadilan, dan berdaulat.

Penutup

Meneladani Rasulullah dalam konteks kenegaraan bukansekadar romantisme sejarah. Ini adalah kebutuhan nyata bangsayang sedang mencari jalan keluar dari krisis etika dan krisiskepercayaan. Rasulullah telah menunjukkan bahwakepemimpinan yang berbasis pada amanah dan akhlak muliamampu mengubah masyarakat yang jahiliyah menjadimasyarakat yang berperadaban.

Indonesia membutuhkan pemimpin yang siap menata ulangetika kenegaraan dengan menjadikan Rasulullah sebagai teladan.Pemimpin yang tidak hanya pintar berpolitik, tetapi juga tulusmelayani; tidak hanya pandai beretorika, tetapi juga jujur dalamperbuatan; tidak hanya memikirkan kelompoknya, tetapi jugamengayomi seluruh rakyat.

Jika semangat kepemimpinan Rasulullah bisa dihidupkankembali dalam tata kelola negara, niscaya bangsa ini akanmenemukan kembali kepercayaan rakyatnya. Etika kenegaraanbukan hanya wacana, melainkan napas dalam setiap kebijakan, dan ketika itu terwujud, Indonesia akan benar-benar menjadirumah bersama yang adil, sejahtera, dan bermartabat. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *